Materi: Keutamaan Sabar dan Hikmah yang Menyertainya

Sumber: santripreneur.net

Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah Swt. yang ditempatkan di muka bumi. Kehadiran mereka di muka bumi dilandasi oleh tujuan tertentu yang hanya Allah Swt. yang mengetahui. Sebagian tujuan dari diciptakannya manusia ini dapat dipahami melalui beberapa ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an, yang mana dari ayat-ayat tersebut disebutkan bahwa tujuan dari diciptakannya manusia di muka bumi tak lain ialah untuk beribadah kepada Allah Swt.

Dalam upaya untuk memenuhi tujuan penciptaan yang sebagiannya telah disebutkan oleh Allah Swt. dalam firman-Nya ini, manusia kerap menghadapi cobaan-cobaan. Cobaan ini dapat berupa cobaan dalam bentuk fisik, psikis, maupun spiritual. Beberapa cobaan fisik yang biasa dijumpai, di antaranya menderita penyakit, kecelakaan, terjadinya bencana alam, tidak berfungsinya sebagian anggota tubuh, dan lain sebagainya. Cobaan psikis yang cukup sering ditemui, seperti kesedihan akibat kehilangan orang tersayang, kegelisahan akibat lenyapnya harta kekayaan, dan selainnya. Sedangkan cobaan spiritual biasa dialami oleh seseorang ketika hendak melakukan ibadah ritual kepada Allah Swt.

Terlepas dari apapun bentuk cobaan yang datang, setiap muslim diharuskan mampu untuk melalui semuanya dengan cara sebagaimana yang dianjurkan dalam Islam. Alih-alih merasa terpuruk dan putus asa, setiap muslim harus mampu mengatasinya dengan penuh rasa ridha dan sabar. Hal ini dikarenakan, dalam ajaran Islam, seorang muslim yang kuat akan lebih dicintai oleh Allah Swt. dibandingkan dengan orang muslim yang lemah. Sebagaimana bunyi hadits Rasulullah Saw.:

الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ اِلَى اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ وَفِي كُلٍّ خَيْرٌ (رواه مسلم)

“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah, dan masing-masingnya adalah baik.” (H.R. Imam Muslim)

Hadits ini menunjukkan betapa Allah Swt. memberikan sanjungan atas orang muslim yang kuat. Kuat dalam arti bahwa seorang muslim memiliki kemampuan untuk menghadapi cobaan-cobaan yang menimpa hidupnya selama di dunia. Mengingat bahwa dunia merupakan ladang bagi akhirat, maka berupaya secara maksimal untuk menanam kebaikan di dunia dengan diiringi kekuatan untuk mengatasi persoalan-persoalan hidup dan harapan akan buah yang manis di akhirat kelak merupakan sebuah hal yang niscaya bagi setiap orang muslim yang bertakwa.

Di samping itu, kuat itu sendiri tidak hanya diartikan sebagai kekuatan fisik (tubuh) yang mana merupakan sisi luar yang tampak dari seorang muslim, melainkan juga sebagai kekuatan psikis (mental/jiwa) yang mampu mendorong seorang muslim untuk senantiasa berjalan di bawah naungan hidayah Allah Swt. secara lurus, sekalipun dalam kenyataannya ditemui berbagai hambatan-hambatan yang boleh jadi cukup sukar untuk dilalui. Lebih lanjut, kuat di sini juga dapat dipahami sebagai kemampuan seorang muslim untuk senantiasa sabar dalam menerima dan menghadapi kenyataan pahit yang ada di depan matanya. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:

لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرْعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِيْ يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ (رواه البخاري)

“Orang kuat bukanlah orang yang pandai bergulat. Orang yang kuat adalah yang bisa mengendalikan dirinya ketika marah.” (H.R. Imam Bukhari)

Hadits ini mengajarkan bahwa sejatinya orang kuat bukanlah mereka yang memiliki fisik (tubuh) yang prima. Bukan pula mereka yang mampu mendorong dan menjatuhkan sesamanya dengan segenap kemampuan sebagai hasil dari daya tubuhnya, atau bahkan mereka yang mampu mengangkat berpuluh-puluh kilogram alat berat dengan kedua tangannya. Lebih dari itu semua, orang muslim yang kuat ialah mereka yang mampu mengendalikan seluruh anggota tubuh dan lisannya dari berbuat kemungkaran ketika rasa marah datang menghampiri dirinya.

Seorang muslim yang kuat bukanlah mereka yang tak pernah marah atau dihinggapi rasa marah. Mereka sama seperti orang lain pada umumnya, rasa marah dapat hinggap dan pergi dari dirinya. Adapun hal yang membedakan antara orang muslim yang kuat dengan orang muslim yang lemah hanyalah pada fakta bahwa kelompok pertama merupakan golongan orang-orang yang mampu bersabar dan menahan dirinya dari melakukan berbagai tindakan buruk ketika marah, sedangkan kelompok dua merupakan yang sebaliknya.

Setiap muslim perlu menyadari bahwa kemampuannya dalam mengisi ruang kehidupan dengan hal-hal yang harus senantiasa diiringi dengan kesanggupannya dalam menahan diri dari melakukan hal-hal buruk yang ditentang oleh syariat, bahkan di saat dirinya tengah ditimpa oleh masalah yang, menurut pandang umum, cukup pelik. Perintah syariat bukan tanpa alasan. Di balik setiap cobaan dan kesulitan yang menghampiri seorang muslim, terdapat karunia Allah Swt. yang kerap kali luput dari perhatian. Karunia ini berupa dihapusnya catatan-catatan buruk bagi seorang muslim dan digantinya catatan-catatan tersebut dengan kebaikan-kebaikan yang seluruhnya merupakan bentuk kasih sayang Allah Swt. kepada hamba-Nya. Hal ini sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah Saw.:

مَا يُصِيْبُ الْمُسْلِمُ مِنْ نَصَبٍ وَلَاوَصَبٍ وَلَاهَمٍّ وَلَاحَزَنٍ وَلَاأَذًى وَلَاغَمٍّ حَتَّى الشَّوْكَةَ يُشَاكُهَا إِلَّا كَفَّرَ اللهُ مِنْ خَطَايَاهُ (رواه البخاري)

“Tidaklah seorang muslim tertimpa keletihan dan penyakit, kekhawatiran dan kesedihan, gangguan dan kesusahan, bahkan duri yang melukainya, melainkan dengan sebab itu semua Allah akan menghapus dosa-dosanya.” (H.R. Imam Bukhari)

Sedangkan, terkait dibalasnya kesabaran seorang muslim dalam menghadapi kesulitan dalam hidupnya dengan catatan kebaikan, menurut Imam Al-Ghazali, dapat ditemukan pada firman Allah Swt. Surat An-Nahl ayat 97, yang berbunyi:

وَلَنَجْزِيَنَّ الَّذِيْنَ صَبَرُوا أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ

“Dan Kami pasti akan memberi balasan kepada orang yang sabar dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”

Menurut tafsir dari Imam Ibnu Katsir, ayat ini memberikan penjelasan tentang balasan Allah Swt. kepada setiap orang muslim yang senantiasa mampu untuk sabar dan mengerjakan amal-amal shalih dalam menjalani hidupnya di dunia. Adapun balasan Allah Swt. terhadap mereka ialah diberikannya mereka kehidupan yang baik dan ganjaran yang lebih baik atas amal-amal shalihnya kelak di akhirat. Termasuk dari kehidupan baik yang dimaksud di sini ialah diberikannya seorang muslim ketenangan dalam menjalani kehidupan dunia, apapun wujud ketenangan tersebut.

Di samping itu, setiap muslim hendaknya memiliki kesadaran bahwa di setiap cobaan yang hadir menimpa dirinya terdapat sekian kebaikan yang diselipkan Allah Swt. di baliknya. Sebagaimana bunyi sabda Rasulullah Saw.:

مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ (رواه البخاري)

“Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan pada dirinya, maka Allah akan menimpakan musibah kepadanya.” (H.R. Imam Bukhari)

Adapun bentuk kesabaran itu sendiri terdiri dari tiga macam, yakni sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah Swt., sabar dalam menjauhi larangan-larangan-Nya, dan sabar dalam menghadapi segala macam musibah yang menghampiri diri pribadi.

Dari seluruh keterangan yang telah dipaparkan, dengan demikian, dapat dipahami bahwa Islam mengajarkan setiap pemeluknya untuk senantiasa mampu menjalankan kebaikan-kebaikan dan menjauhi keburukan-keburukan sebagaimana yang telah ditetapkan oleh syariat. Menjalankan kebaikan di sini dapat diwujudkan dengan sebuah upaya untuk senantiasa rela dan sabar dalam mematuhi ketetapan-ketetapan yang telah Allah Swt. tentukan di alam dunia. Adapun di balik setiap kesulitan dan cobaan yang dialami dengan sabar oleh seorang muslim pada hakikatnya Allah Swt. senantiasa menyelipkan kebaikan dan keberuntungan bagi orang yang bersangkutan. Mereka yang mampu menjalani hidup dengan penuh ketaatan dan rasa sabar akan memperoleh ganjaran yang agung dari Allah Swt., sebagaimana yang telah disebut pada hadits-hadits maupun firman-Nya sebelumnya. Wallaahu a’laam.

Comments