Materi: Rebo Wekasan dan Sikap dalam Menghadapinya
Sumber: media.allure.com |
Di dunia ini terdapat dua
macam sistem penanggalan kalender yang telah disepakati oleh para ahli. Keduanya
memiliki metode dan hasil penghitungan yang berbeda satu sama lain. Kedua macam
sistem penanggalan kalender tersebut ialah sistem penanggalan kalender Masehi
dan Hijriah.
Sebagaimana diketahui
bersama, kalender Hijriah memiliki sistem penanggalan yang berbeda dengan
sistem penanggalan yang digunakan oleh kalender Masehi (Syamsiyah). Penanggalan
pada kalender Masehi didasarkan atas penghitungan terhadap peredaran bumi yang
mengelilingi matahari, sedangkan kalender Hijriah mengacu pada penghitungan
atas peredaran bulan yang mengitari bumi.
Selain acuan penghitungan
yang tak sama, jumlah hari dalam setahun yang dimiliki setiap kalender pun
berbeda. Dalam kalender Masehi, jumlah hari dalam setahun adalah sebanyak 365
hari, dan akan menjadi sebanyak 366 hari bila masuk ke dalam tahun kabisat. Dari
sekian jumlah hari dalam setahun, kemudian seluruhnya dibagi menjadi 12 bulan
dengan jumlah hari dalam setiap bulannya sebanyak 30 dan 31 hari dengan
pengecualian pada bulan Februari yang lazimnya berjumlah 28 hari dan menjadi 29
hari saat masuk ke dalam tahun kabisat. Adapun nama-nama bulan dalam kalender
Masehi secara berurutan ialah sebagai berikut: Bulan Januari; Februari; Maret;
April; Mei; Juni; Juli; Agustus; September; Oktober; November; dan Desember.
Sedangkan dalam kalender Hijriah,
jumlah hari dalam setahun ialah sebanyak 344 atau 345 hari. Dari sekian jumlah
yang ada, kemudian dibagi ke dalam 12 bulan dengan jumlah hari pada setiap
bulannya sebanyak 29 atau 30 hari. Jumlah hari dalam sebulan akan ditetapkan
melalui mekanisme ru’yatul hilal ataupun hisab pada setiap hari menjelang akhir
bulan, tepatnya pada tanggal 29. Dalam mekanisme ru’yatul hilal, apabila pada
tanggal 29 hilal tidak terlihat, maka jumlah hari dalam sebulannya akan
digenapkan menjadi 30, dan akan berlaku yang sebaliknya apabila pada tanggal 29
hilal dapat dilihat dengan syarat-syarat tertentu. Adapun nama-nama bulan dalam
kalender Hijriah di antaranya: Bulan Muharram, Shafar, Rabi’ul Awwal, Rabi’ul Akhir,
Jumadil Awwal, Jumadil Akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulqa’dah, dan
Dzulhijjah.
Terlepas dari perbedaan
yang ada, sebagian masyarakat dunia memiliki anggapan bahwa terdapat hari-hari
sial pada kedua kalender yang telah disebut, baik pada kalender Masehi maupun
kalender Hijriah. Orang Barat beranggapan bahwa angka 13 kerap membawa kesialan
dan kemalangan bagi setiap orang. Lebih jauh, anggapan mereka yang negatif
terhadap angka ini pun menjadi kian meningkat apabila digabungkan dengan hari
Jum’at. Bagi mereka, hari Jum’at bertanggal 13 merupakan hari penuh kesialan
yang sangat menggelisahkan. Orang-orang akan sangat berhati-hati bila mereka
benar-benar dipertemukan dengan hari yang diyakini penuh kesialan tersebut.
Di sisi lain, pada sistem
penanggalan kalender Hijriah, terdapat hari-hari tertentu yang diyakini oleh
umat Islam memiliki kemuliaan-kemuliaan ataupun bala/malapetaka. Termasuk di
antara hari yang memiliki bala tersebut ialah hari Rabu pada akhir bulan
Shafar, atau yang lazim disebut oleh masyarakat dengan istilah Rebo Wekasan.
Rebo Wekasan merupakan
hari Rabu terakhir yang terdapat pada bulan Shafar. Pada hari ini, secara umum umat
Islam memiliki keyakinan bahwa Allah Swt. sedang menurunkan sekian ribu bala
(musibah/malapetaka) di dunia. Keyakinan akan turunnya bala dari Allah Swt. ini
kemudian menimbulkan rasa khawatir di benak umat Islam. Dengan adanya rasa
khawatir ini, umat Islam pun bergegas melaksanakan ritual ibadah guna menolak
kemunculan bala tersebut. Ritual ibadah yang dilaksanakan umat Islam dalam
rangka menolak bala ini biasa disebut dengan Shalat Hajat li daf’il bala’
(untuk menolak bala).
Shalat Hajat merupakan
salah satu ibadah shalat sunnah yang dapat dikerjakan oleh seorang muslim dalam
rangka mewujudkan suatu kebutuhan (hajat) tertentu. Kebutuhan yang dimaksud
dapat berupa kebutuhan yang bersangkutan dengan urusan duniawi maupun kebutuhan
untuk dunia ukhrawi.
Dalam Kitab Fashalatan
karya K.H.R. Asnawi, Kudus, yang diterjemahkan oleh K.H. Minan Zuhri, cucu
K.H.R. Asnawi, disebutkan bahwa di antara kebutuhan duniawi maupun ukhrawi yang
dapat diwujudkan seseorang melalui Shalat Hajat ialah:
1. Membutuhkan perlindungan dari segala macam bala’, afat, dan bencana;
2. Membutuhkan berhasilnya suatu maksud hajat, usaha, dan cita-cita (cita-cita yang tidak melanggar hukum Allah Swt.);
3. Membutuhkan keselamatan dalam segala urusan;
4. Membutuhkan kelancaran dalam menuntut dan menghafalkan ilmu;
5. Membutuhkan pertolongan dari Allah Swt. dalam menunaikan tugas-tugas agama; dan
6. Kebutuhan-kebutuhan lainnya.
Adapun tata cara
melaksanakan Shalat Hajat, sebagaimana dikutip dari Kitab yang sama, yakni
dengan terlebih dahulu melakukan wudhu secara sempurna (lengkap dengan
kesunnahan-kesunnahan dalam berwudhu), kemudian bersegera mengerjakan Shalat
Hajat dua rakaat. Setelah selesai shalat, dilanjutkan dengan berdoa untuk
memohon pengabulan dari Allah Swt. atas seluruh kebutuhan sebagaimana yang
telah disebutkan sebelumnya.
Sebagaimana yang telah
disebut sebelumnya, salah satu macam kebutuhan yang dapat dipenuhi oleh seorang
muslim dengan melaksanakan Shalat Hajat ialah kebutuhan akan perlindungan Allah
Swt. dari segala macam bala’, afat, dan bencana. Dengan melaksanakan Shalat
Hajat, seorang muslim akan dapat memperoleh perlindungan dari Allah Swt. dari
berbagai macam bala yang datang dari segala arah. Hal ini tentunya tidak
mengecualikan ribuan bala yang diyakini turun pada hari Rebo Wekasan. Bila
dilaksanakan sesuai dengan tata cara yang semestinya, maka, InsyaAllah, Allah
Swt. akan melindungi seluruh umat muslim dari segala macam bala tersebut.
Adapun tata cara
melaksanakan Shalat Hajat li daf’il bala’ ialah dengan membaca niat
terlebih dahulu. Selanjutnya, setiap selesai membaca Surat Al-Fatihah
dilanjutkan dengan membaca Surat Al-Kautsar sebanyak 17 kali, Surat Al-Ikhlas 5
kali, Surat Al-Falaq dan An-Nas 1 kali. Kemudian, seusai salam, membaca doa li
daf’il bala’.
Terkait keyakinan umat
Islam terhadap bala yang turun pada hari Rabu akhir bulan Shafar ini, menurut
sebagian keterangan, hal ini bersumber dari keyakinan kaum jahiliyah yang menganggap
bahwa bulan Shafar merupakan bulan kesialan. Keyakinan yang telah kian mengakar
kuat di kalangan bangsa Arab jahiliyah ini pada akhirnya bertahan dan membekas
di benak umat Islam sampai pada saat ini. Hal ini dapat dipahami melalui hadits
yang diriwayatkan melalui Abu Hurairah R.A.:
لَا
عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ وَلَا هَامَةَ وَلَا صَفَرَ وَفِرَّ مِنَ الْمَجْذُوْمِ كَمَا
تَفِرُّ مِنَ الْأَسَدِ
“Tidak ada wabah (yang menyebar dengan
sendirinya tanpa kehendak Allah), tidak pula ramalan sial, tidak pula burung
hantu, dan juga tidak ada kesialan pada bulan Shafar. Menghindarlah dari
penyakit kusta sebagaimana engkau menghindari singa. (H.R. Imam Bukhari dan
Imam Muslim)”
Dari hadits ini dapat
dipahami bahwa kaum jahiliyah Arab pada saat itu memiliki keyakinan yang kuat
akan kesialan yang ada di bulan Shafar. Redaksi hadits yang menyebut nama bulan
Shafar secara jelas dan spesifik ini mengindikasikan bahwa apabila pada masa
itu tidak didapati fenomena yang demikian kuat, maka sudah barang tentu redaksi
hadits tidak akan menyebutkan nama fenomena tersebut secara terang dan khusus.
Selain itu, redaksi hadits
yang berarti “Tidak ada wabah” di atas, bermaksud untuk meluruskan
keyakinan kaum jahiliyah yang meyakini bahwa penyakit itu dapat
menyebar/menular dengan sendirinya, tanpa adanya ketentuan dari takdir Allah
Swt. Dengan kata lain, meyakini bahwa suatu penyakit tertentu memiliki kehendak
dan mampu menentukan objek sasaran secara mandiri tanpa melalui kehendak dari
Allah Swt. merupakan suatu hal yang mustahil. Demikian halnya dengan bulan
Shafar.
Sementara itu, dalam
sebuah hadits yang lain, Rasulullah Saw. pernah bersabda, yang artinya “Hari
Rabu terakhir di setiap bulan merupakan hari sial yang terus.” Redaksi hadits
ini secara lahir bertentangan dengan hadits yang telah disebutkan sebelumnya,
yang mana menyatakan secara jelas bahwa tiada kesialan pada bulan Shafar.
Namun, sekalipun demikian, bukan berarti keduanya benar-benar bertentangan.
Terkait hadits yang menyebut kesialan hari Rabu di setiap akhir bulan ini, K.H.
Miftachul Akhyar menyatakan:
“Nahas (kesialan) yang dimaksud adalah bagi mereka yang meyakininya, bagi
yang mempercayainya. Tetapi, bagi orang-orang beriman meyakini bahwa setiap
waktu, hari, bulan, tahun ada manfaat dan ada mafsadah, ada guna dan ada
madharatnya. Hari bisa bermanfaat bagi seseorang, tetapi juga bisa juga nahas bagi
orang lain.”
Dengan demikian, Bulan Shafar tak lain hanyalah merupakan suatu makhluk yang tidak memiliki kehendak dan kuasa untuk memberikan manfaat maupun madharat tanpa melalui kehendak Allah Swt. Bulan Shafar hanyalah perantara (wasilah) dari timbulnya berbagai manfaat ataupun madharat bagi kehidupan umat manusia dan bukan menjadi penyebab yang sebenarnya. Adapun yang memiliki kehendak dan kuasa untuk memberikan manfaat maupun madharat, serta menjadi penyebab yang sebenarnya bagi segala sesuatu yang terjadi dalam kehidupan umat manusia hanyalah Allah Swt. Wallahu a’lam.
Comments
Post a Comment