Materi: Tujuan Hidup Manusia

(Foto: lifehopeandtruth.com)

Sebagai manusia, selayaknya kita perlu menyadari, apakah sebenarnya yang menjadi tujuan dari  keberadaan kita di muka bumi. Dalam upaya untuk memahami tujuan hidup dari manusia, tentunya kita perlu memahami, sejatinya siapakah manusia itu sendiri.

Manusia merupakan salah satu makhluk yang diciptakan oleh Allah Swt. untuk mendiami bumi. Tujuan dari diciptakannya manusia tak lain agar mereka beribadah kepada-Nya. Hal ini sebagaimana bunyi firman-Nya dalam Surat Ad-Dzariyat ayat 56:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُوْنَ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku.”

Ayat ini menerangkan bahwa tujuan utama dari diciptakannya manusia tiada lain ialah untuk beribadah kepada Allah Swt. Lebih lanjut, Imam Ibnu Katsir menafsirkan bahwa sejatinya tujuan Allah Swt. menciptakan jin dan manusia ialah agar mereka (jin dan manusia) menghambakan diri kepada Allah Swt. semata. Menghambakan diri yang dimaksud ialah agar seluruh jin dan manusia senantiasa mentaati segala perintah, serta menghindari dan menjauhi sejauh-jauhnya segala hal yang dilarang oleh Allah Swt.

Di dalam Surat Al-Baqarah ayat 30 ditemukan pula tujuan lain dari diciptakannya manusia di muka bumi oleh Allah Swt., sebagaimana berikut:

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَأئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِى الْأَرْضِ خَلِيْفَةً

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”

Menurut penafsiran dari kitab Tafsir Jalalain, maksud dari istilah khalifah pada ayat di atas yakni sosok yang mewakili Allah Swt. dalam melaksanakan hukum-hukum atau peraturan-peraturan-Nya di muka bumi, yang mana dalam hal ini ditujukan kepada Nabi Adam A.S., sang manusia pertama. Sedangkan menurut penafsiran Kementerian Agama Republik Indonesia, yang dimaksud dengan kekhalifahan Nabi Adam A.S. di bumi ialah kedudukannya sebagai khalifah di muka bumi ini untuk melaksanakan perintah-perintah Allah Swt dan memakmurkan bumi, serta memanfaatkan segala sesuatu yang ada padanya.

Di samping dua tujuan penciptaan yang telah disebut sebelumnya, dalam salah satu firman-Nya, Allah Swt. menyebutkan bahwasanya manusia merupakan makhluk yang diciptakan dengan kesempurnaan yang melebihi makhluk-makhluk-Nya yang lain. Kesempurnaan ini tergambar dalam Surat At-Tin ayat 4, yang berbunyi:

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي اَحْسَنِ تَقْوِيْمٍ

“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.”

Dari ayat ini secara tekstual dapat dipahami bahwasanya manusia telah diciptakan oleh Allah Swt. dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Terkait makna dari bentuk yang sebaik-baiknya ini, Kementerian Agama Republik Indonesia memberikan tafsir bahwa yang dimaksud dalam hal ini ialah kesempurnaan yang dihasilkan dari sisi fisik dan psikis manusia. Manusia dikaruniai oleh Allah Swt. dua aspek pada dirinya, yakni aspek fisik dan psikis. Kedua aspek inilah yang menentukan seberapa sempurna kualitas yang dimiliki oleh seorang manusia.

Layaknya segala sesuatu yang fana, aspek fisik dan psikis manusia perlu dipelihara. Aspek fisik manusia dipelihara dengan melakukan aktivitas makan, minum, tidur, dan kebutuhan biologis lain dalam kadar ukuran yang cukup dan tidak berlebihan. Di samping itu, dalam kaitannya dengan aktivitas makan dan minum, manusia diwajibkan oleh Allah Swt. untuk senantiasa berhati-hati dalam memilih makanan maupun minuman yang akan dikonsumsi. Dalam agama Islam, setiap orang diwajibkan untuk mengonsumsi segala macam makanan maupun minuman yang dihukumi halal oleh syariat. Hal ini sebagaimana yang tersebut dalam Surat Al-Baqarah ayat 168:

يَآأَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ

“Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagimu.”

Ayat ini menyerukan kepada setiap muslim agar senantiasa mengonsumsi makanan-makanan maupun minuman-minuman yang halal dan menghindarkan diri sejauh-jauhnya dari mengonsumsi segala macam makanan ataupun minuman yang haram. Makanan dan minuman yang halal ialah makanan dan minuman yang diizinkan oleh syariat untuk dikonsumsi, yang mana dengan mengonsumsinya akan dapat mendorong seseorang untuk semakin mendekatkan dirinya kepada Allah Swt. Begitu pula sebaliknya, makanan dan minuman yang haram ialah makanan dan minuman yang dilarang oleh syariat untuk dikonsumsi, yang mana bila dikonsumsi, maka akan dapat merenggangkan kedekatan seseorang dengan Yang Maha Kuasa. Hal ini senada dengan nasehat Rasulullah Saw. kepada sahabat Ali bin Abu Thalib K.W., sebagaimana yang tercatat dalam kitab Washiyyatul Musthofa karangan Syekh Abdul Wahhab As-Sya’roni, bahwa seseorang yang mengonsumsi makanan dan minuman yang haram, maka hatinya akan mati, agamanya menjadi ringkih, dan imannya pun lemah. Selain itu, kuantitas dan kualitas ibadah yang dilakukan oleh orang tersebut pun akan menjadi semakin menurun.

Berpijak pada nasehat Rasulullah Saw. kepada sahabat Ali bin Abu Thalib K.W., dapat dipahami bahwa mengonsumsi makanan dan minuman yang halal sangatlah penting bagi seorang muslim. Bila makanan dan minuman yang haram dapat menurunkan kualitas keimanan dan ibadah seseorang, maka sudah barang tentu keberkahan dan kemudahan akan menyertai segala yang dihalalkan oleh syariat. Karena tiada satu hal baik yang ditanam, melainkan hasil yang baik pula yang akan dituai. Dengan makanan dan minuman yang halal dan baik, akan menjadi baik pulalah perbuatan seseorang.

Mengingat bahwa manusia ditugaskan di dunia ini untuk menjadi sosok khalifah bagi bumi, maka mengonsumsi makanan dan minuman yang halal boleh dibilang merupakan langkah paling awal yang semestinya mampu untuk dilalui dan diupayakan oleh setiap muslim. Hal ini dimaksudkan guna memelihara fisik dan meningkatkan kemurnian hatinya dalam upaya untuk menghambakan diri kepada Allah Swt. Sebab, semakin murni hati seseorang, semakin terselamatkanlah ia dari segala tindakan yang menghinakan dan menghancurkan diri sendiri. Dengan hati yang murni dan suci dari dosa-dosa, baik dosa lahiriah maupun batiniah, seseorang akan mampu bertindak secara bijak sejalan dengan ketetapan-ketetapan syariat yang telah ditentukan oleh Allah Swt.

Aspek kedua yang perlu untuk dipelihara oleh setiap muslim, di samping aspek fisik, ialah aspek psikis (kejiwaan).  Sebagaimana keterangan yang sempat disinggung sebelumnya bahwa semakin murni hati yang dimiliki oleh seseorang, maka juga akan semakin terselamatkan/terjauhkanlah dirinya dari perbuatan-perbuatan yang tercela. Hati yang suci dari kotoran-kotoran dosa akan membimbing empunya untuk menjadi semakin dekat kepada Sang Pencipta. Alih-alih merasa keberatan, si empu akan menjadi semakin ringan dalam beribadah. Dalam artian bahwa kesucian hati membuat dirinya menjadi kian mudah untuk melakukan ibadah kepada Allah Swt., bila dibandingkan dengan mereka yang memiliki hati yang kotor.

Hati yang dimaksud di sini bukanlah organ dalam perut manusia yang berfungsi untuk menetralisir racun dalam tubuh. Adapun yang dimaksud dengan hati di sini ialah hati spiritual sebagaimana yang diterangkan oleh para ulama sehubungan dengan hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi sebagai berikut:

أَلاَ وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً، إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ، أَلاَ وَهِيَ الْقَلْبُ

“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuhnya, dan jika segumpal daging itu buruk, maka buruk pulalah seluruh tubuhnya. Ketahuilah, segumpal daging itu ialah hati.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Dari hadis ini ulama memberikan penjelasan bahwa apabila hati seseorang itu telah baik, maka secara otomatis segala tindak-tanduknya dalam hidup pun akan menjadi baik pula. Sedangkan bila hatinya rusak (buruk), maka rusak pulalah perbuatannya dalam hidup.

Sebagai seorang muslim sejati, menjaga kesucian dan kemurnian hati merupakan sebuah proses yang harus senantiasa diupayakan. Berbagai upaya mesti dilakukan demi menggapai kesucian hati dari segala bentuk dosa yang mengotori. Hati yang kotor hanya akan menjadi motor penggerak dari segala perbuatan tercela yang tidak diridhai Allah Swt. Ia merupakan hati yang telah banyak ternoda oleh perbuatan dosa.

Di setiap kali seseorang melakukan perbuatan dosa, pada hakikatnya ia telah membuat hatinya kotor oleh titik-titik hitam. Sekali dia berbuat dosa, satu titik hitam muncul di hatinya. Dua kali berbuat dosa, dua titik hitam jatuh sebagai tambahannya. Tiga kali berbuat dosa, tiga titik hitam pun timbul dalam hatinya, dan seterusnya. Titik-titik hitam ini akan terus muncul di hati setiap orang yang melakukan perbuatan dosa. Semakin banyak dosa yang ia perbuat, maka akan semakin banyak pula titik hitam di hatinya. Sebab itu, ketika hatinya telah penuh akan titik hitam, maka dapat dipastikan hatinya akan menjadi gelap dan tak lagi mampu untuk memancarkan cahaya bagi empunya pribadi, lebih-lebih bagi orang lain yang berada di sekitarnya. Hati yang telah menjadi demikian gelap, pada akhirnya akan memalingkan empunya dari jalan kebenaran yang telah dibawa oleh Rasulullah Saw. dan menyeret empunya ke dalam jurang kehinaan yang jauh dari ridha Allah Swt. Na’uudzu billaahi min dzaalik.

Oleh karena itu, menjaga kemurnian hati merupakan sebuah keharusan bagi setiap muslim. Setiap muslim harus senantiasa berupaya untuk menjaga kemurnian hatinya dengan diiringi sikap mawas diri di setiap detiknya. Dengan sikap mawas diri ini diharapkan seorang muslim dapat mengenali dan mengantisipasi segala macam gejolak dalam hati yang mendorong kepada perbuatan-perbuatan dosa yang tercela, untuk kemudian menghindarkan diri dengan sekuat tenaga agar tidak sampai terjatuh ke dalam lembah kehinaan yang mencelakakan.

Dengan demikian, sebagai makhluk paling sempurna di antara makhluk ciptaan lainnya, manusia dituntut untuk mampu menjalankan ibadah, serta menjadi khalifah di muka bumi, semata untuk mengabdikan diri dan mencari ridha Allah Swt. Keseluruh tujuan penciptaan ini tentunya tidak akan dapat terwujud tanpa disertai dengan upaya pemeliharaan aspek fisik dan psikis yang ada pada diri manusia. Pemeliharaan aspek fisik dilakukan dengan mengerjakan berbagai aktivitas biologis yang dibutuhkan oleh tubuh, yang dalam pemenuhannya harus tetap berada dalam koridor syariat, dan pemeliharaan aspek psikis yang dilakukan dengan mengerjakan upaya penyucian hati dari segala bentuk perbuatan tercela yang dilarang oleh syariat, yang dalam pemenuhannya melibatkan upaya untuk senantiasa mawas diri terhadap gejolak-gejolak yang muncul di dalam hati. Wallahu A’laam.

Comments