Materi: Beriman pada Qadha dan Qadar

 

Sumber: freepik.com

Manusia diciptakan di dunia untuk menjalankan ibadah kepada Allah Swt. Ibadah yang dijalankan dapat berupa ibadah mahdhah maupun ibadah ghairu mahdhah. Ibadah mahdhah yang dimaksud dapat berupa mengerjakan shalat, menunaikan zakat, puasa di bulan Ramadhan, dan pergi haji bagi yang mampu. Sedangkan ibadah ghairu mahdhah memiliki cakupan bentuk yang lebih luas dari bentuk ibadah mahdhah itu sendiri. Ibadah ghairu mahdhah kurang lebihnya dapat dipahami sebagai segala macam kebaikan yang dilakukan oleh seseorang yang diniatkan semata untuk memperoleh pahala ataupun keridhaan dari Allah Swt.

Manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia, senantiasa mengalami berbagai macam cobaan ataupun ujian dari Allah Swt. Cobaan atau ujian ini boleh jadi bagi terasa manis maupun pahit. Semua ini ada dan teralami berdasarkan ketetapan yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. sejak dari Zaman Azali. Sebagaimana diketahui bersama, Zaman Azali merupakan sebuah masa sebelum diciptakannya ruang dan waktu. Pada masa inilah amal perbuatan, rezeki, ajal, sampai dengan bahagia ataupun susahnya nasib akhir seorang manusia, ditentukan. Ketetapan Allah Swt. atas segala hal pada Zaman Azali inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Qadha.

Qadha dapat dipahami sebagai suatu hal yang gaib yang hanya Allah Swt. yang mengetahui. Ulama Asy’ariyah memahami istilah ini sebagai kehendak Allah Swt. atas makhluk-Nya yang ada sejak pada Zaman Azali. Dalam kitab Kasyifatus Saja Syarah Safinatun Najah, Syekh M. Nawawi Al-Bantani menerangkan bahwasanya yang dimaksud dengan Qadha tak lain merupakan kehendak Allah Swt. pada Zaman Azali. Dengan kata lain, Qadha merupakan kehendak Allah Swt. yang gaib atas seluruh makhluk-Nya yang telah ditetapkan sejak pada Zaman Azali.

Meyakini bahwa segala sesuatu berjalan sesuai dengan Qadha merupakan salah satu rukun iman dalam agama Islam. Seorang yang beriman wajib meyakini bahwa tiada sesuatupun hal yang terjadi di dunia ini, kecuali berjalan sesuai dengan Qadha dari Allah Swt. Di samping itu, istilah Qadha ini biasa dihubungkan dengan istilah lain yang memiliki makna yang berkaitan, yakni Qadar.

Qadar adalah upaya Allah Swt. untuk menciptakan segala sesuatu sesuai dengan Qadha yang telah ditetapkan-Nya. Dalam hal ini, ulama Asy’ariyah memahami istilah ini sebagai penciptaan (realisasi) Allah Swt. atas segala sesuatu dengan kadar-kadar tertentu sesuai dengan kehendak-Nya pada Zaman Azali. Dengan kata lain, penetapan seseorang untuk menyandang sifat-sifat tertentu pada Zaman Azali merupakan Qadha. Sedangkan, perwujudan seseorang di dunia disertai dengan sifat-sifat sebagaimana yang telah ditetapkan melalui Qadha inilah yang kemudian disebut dengan istilah Qadar.

Setiap orang muslim diwajibkan untuk meyakini kebenaran akan adanya Qadha dan Qadar dari Allah Swt. Hal ini sebagaimana dapat dipahami melalui kesepakatan para ulama bahwa salah satu dari enam rukun iman yang wajib diyakini kebenarannya oleh setiap muslim ialah iman kepada Qadha dan Qadar. Seorang muslim belum dapat disebut sebagai orang beriman jika ia tidak meyakini kebenaran dari adanya Qadha dan Qadar. Mereka yang tidak meyakini kebenaran kedua hal ini dapat dipastikan bahwa keimanannya masih belum sempurna. Iman yang belum sempurna akan dapat menjerumuskan seseorang ke dalam perbuatan-perbuatan tidak terpuji yang dimurkai oleh Allah Swt.

Iman kepada Qadha dan Qadar Allah Swt. berarti bahwa seorang muslim memiliki keyakinan bahwa Allah Swt. telah merencanakan terjadinya segala sesuatu yang ada di dunia sejak dari Zaman Azali. Segalanya ada dan terjadi di dunia berdasarkan kehendak Allah Swt. yang telah ada jauh sebelum diciptakannya langit dan bumi. Seorang muslim diwajibkan untuk meyakini bahwa segala yang terjadi di dunia, baik itu suatu hal yang baik (positif) maupun buruk (negatif), semuanya telah direncanakan dan dikehendaki oleh Allah Swt.

Terkait iman kepada Qadha dan Qadar Allah Swt., Syekh M. Nawawi Al-Bantani dalam kitab Qatrul Ghaits menerangkan bahwa cara untuk mengimani keduanya ialah dengan mempercayai bahwa Allah-lah pencipta seluruh makhluk, serta Dia-lah pemberi perintah dan larangan atas mereka. Beliau pun menambahkan bahwasanya yang dimaksud dengan Qadha oleh sementara ulama ialah kehendak Allah Swt. sejak Zaman Azali yang berhubungan dengan segala perkara yang ada. Sedangkan Qadar ialah perwujudan kehendak Allah Swt. dari semua makhluk sesuai ilmu-Nya. Bila diibaratkan, maka Qadha laksana pondasi dan Qadar ialah bangunannya, ataupun Qadha laksana gambar yang ada dalam pikiran seorang tukang ukir, sedangkan Qadar ialah hasil ukirannya.

Mengimani Qadha dan Qadar juga berarti meyakini bahwa segala perbuatan yang dilakukan oleh seorang muslim, baik itu perbuatan taat maupun maksiat, disebabkan oleh kehendak Allah Swt. Perbuatan taat seorang muslim disebabkan oleh Qadha dan takdir Allah Swt. pada Zaman Azali. Perbuatan itu pun juga didasari oleh Iradah (kehendak), serta perintah dan ridha dari Allah Swt. Berbeda halnya dengan perbuatan maksiat. Perbuatan maksiat disebabkan oleh Qadha, takdir, dan Iradah Allah Swt. pada Zaman Azali, namun tidak diiringi dengan perintah dan ridha dari-Nya.

Di antara faktor yang membedakan antara penyebab dari perbuatan taat dan maksiat seorang muslim ialah adanya unsur perintah dari Allah Swt. Guna memberikan keterangan yang lebih jelas akan perbedaan keduanya, Syekh M. Nawawi Al-Bantani memberikan sebuah contoh kasus. Apabila terdapat anak dari seorang hakim melakukan perbuatan pembunuhan terhadap seseorang, maka sang ayah (hakim) pun akan memerintahkan pemberian hukuman terhadap anaknya (pelaku pembunuhan) sebagaimana hukuman yang ia berikan kepada orang lain yang melakukan perbuatan yang sama. Namun, sekalipun demikian, hal ini merupakan suatu hal yang tak dikehendaki oleh sang hakim (ayah si pelaku pembunuhan). Dari contoh kasus ini dapat dipahami bahwa perbuatan taat yang dilakukan oleh seorang muslim tentunya merupakan suatu hal yang didasari oleh perintah Allah Swt. Sedangkan perbuatan maksiat yang dilakukannya bukanlah suatu hal yang perintah Allah Swt. menjadi penyebab atasnya.

Segala perkara yang besar maupun kecil di dunia ini ada atas kehendak dari Allah Swt. Sebagaimana yang tersebut dalam firman-Nya Surat Al-Qamar ayat 53, yang berbunyi:

وَكُلًّ صَغِيْرٍ وَكَبِيْرٍ مُّسْتَطَرٌ

“Dan segala (urusan) yang kecil maupun yang besar adalah tertulis.”

Ayat ini menjelaskan bahwa tiada satupun perkara di dunia ini melainkan semuanya telah tertulis. Menurut Syekh M. Nawawi Al-Bantani, maksud dari ayat ini ialah bahwa semua makhluk, baik yang kecil maupun yang besar, dan semua perbuatan, serta ajal mereka, telah dipastikan tercatat di Al-Lauh Mahfuzh yang terjaga dari setan dan terpelihara dari penambahan ataupun pengurangan. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan Al-Lauh ialah sebuah lembaran yang terbuat dari mutiara berwarna putih yang sangat luas. Panjangnya setinggi antara langit dan bumi, serta selebar antara timur dan barat. Pinggirannya berupa mutiara dan yaqut, dua sampulnya terbuat dari yaqut berwarna merah, dipangku seorang malaikat di tengah-tengah udara di atas langit.

Mengingat bahwa mengimani Qadha dan Qadar Allah Swt. merupakan kewajiban bagi setiap muslim, menjalani hidup dengan penuh ridha dan penyerahan diri kepada-Nya merupakan sebuah keniscayaan. Hal ini berarti bahwa setiap muslim seyogyanya mampu menerima segala kenyataan yang terjadi dan dialaminya dalam kehidupan sehari-hari. Apabila didapatinya hal yang disukai, maka ia bersyukur. Sedangkan, bila yang didapat ialah hal yang tak disukai, maka seyogyanya ialah menerima dengan penuh ridha dan penyerahan diri kepada Allah Swt. Karena boleh jadi apa yang dianggap baik oleh seorang muslim, pada kenyataannya buruk dalam pandangan Allah Swt. Sedangkan yang dianggap buruk oleh seorang muslim, pada kenyataannya baik dalam pandangan Allah Swt. Sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al-Baqarah ayat 216:

وَعَسٰى اَنْ تَكْرَهُوآ شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ وَعَسٰى اَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَاتَعْلَمُوْنَ

“Boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”

Ayat ini menunjukkan betapa di balik setiap perintah dan larangan-Nya Allah Swt. senantiasa menghendaki kebaikan atas seluruh umat manusia. Kebaikan-kebaikan itu mungkin tak dapat diketahui secara menyeluruh dan kasat mata, namun dapat dipastikan bahwa terselip kebaikan di balik setiap perintah dan larangan yang Allah Swt. tetapkan atas umat manusia, terkhusus bagi umat muslim yang beriman dan taat menghamba kepada-Nya.

Di samping itu, sesungguhnya segala sesuatu yang ada, terjadi, dan dialami oleh umat manusia (umat muslim, khususnya) di dunia, mulai dari yang menimbulkan kebahagiaan sampai dengan duka dan penderitaan, telah tercatat di Al-Lauh Mahfuzh. Hal ini ditegaskan oleh Allah Swt. melalui firman-Nya dalam Surat Al-Hadid ayat 22:

مَآ اَصَابَ مِنْ مُصِيْبَةٍ فِى الْاَرْضِ وَلَا فِى اَنْفُسِكُمْ اِلَّا فِي كِتَابٍ مِّنْ قَبْلِ اَنْ نَبْرَاَهَا ۗ اِنَّ ذٰلِكَ عَلَى اللهِ يَسِيْرٌ

“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Al-Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah.”

Tafsir Kementerian Agama Republik Indonesia memberikan penjelasan bahwa ayat ini menerangkan perihal telah tertulisnya segala macam bencana dan malapetaka yang terjadi pada permukaan bumi  di dalam Al-Lauh Mahfuzh. Bencana dan malapetaka ini meliputi gempa bumi, banjir, dan bencana alam lain, serta bencana yang menimpa manusia, seperti kecelakaan, penyakit, dan sebagainya. Keseluruhannya telah Allah Swt. tetapkan di dalam Al-Lauh Mahfuzh sebelum penciptaan makhluk-makhluk-Nya yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa tiada sesuatupun yang luput dari pengetahuan Allah Swt. dan tidak tertulis di Al-Lauh Mahfuzh. Allah Swt. Maha Mengetahui segala sesuatu, baik kecil maupun besar, yang telah ada, tiada, maupun yang akan ada, serta yang tampak sampai dengan yang tidak tampak pada indra manusia.

Adapun tujuan Allah Swt. melakukan semua hal di atas, yakni sebagaimana firman-Nya dalam Surat Al-Hadid ayat 23:

لِّكَيْلَا تَأْسَوْا عَلٰى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوْا بِمَآ اٰتٰكُمْ ۗ وَاللهُ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍ

“Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong dan membanggakan diri.”

Menurut Tafsir Kementerian Agama Republik Indonesia, ayat ini menyatakan bahwa semua peristiwa/kejadian telah ditetapkan oleh Allah Swt. jauh sebelum terjadinya agar manusia bersabar menerima cobaan dari-Nya. Adapun cobaan dari Allah Swt. itu sendiri dapat berupa kesengsaraan dan malapetaka, bahkan sampai dengan kesenangan dan kegembiraan. Karenanya, seyogyanya yang dilakukan setiap muslim saat ditimpa kemalangan atau malapetaka ialah bersabar. Sedangkan, bila Allah Swt. menghendaki kebahagiaan atas dirinya, maka hal terbaik yang dapat dikerjakan ialah dengan mensyukurinya.

Dengan demikian, beriman pada adanya Qadha dan Qadar Allah Swt. merupakan rukun iman yang kebenarannya wajib diyakini oleh setiap muslim. Mengimani Qadha dan Qadar Allah Swt. berarti bahwa seorang muslim percaya dan yakin bahwa segala sesuatu yang ada, terjadi, dan dialaminya di dunia tak pernah luput dari pengetahuan dan pengawasan dari Allah Swt. Karena Allah Swt. sendirilah yang telah menetapkan segala sesuatunya pada Al-Lauh Mahfuzh. Di samping itu, setiap muslim juga hendaknya mampu untuk menjauhkan dirinya dari sikap berlebih-lebihan dalam bersedih maupun berbahagia. Hal ini disebabkan karena terdapat tanda-tanda kebakhilan dan keangkuhan pada diri orang yang bersikap berlebih-lebihan saat sedih maupun bahagia, yakni sikap yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Sedangkan Allah Swt. telah menegaskan bahwa Dia tidak menyukai orang-orang yang mempunyai sifat-sifat bakhil dan angkuh. Wallaahu A’laam.

Comments